SANG ALKEMIS
PAULO COELHO
PAULO COELHO
PROLOG
ALKEMIS ITU MENGAMBIL BUKU YANG DIBAWA SESEORANG DALAM karavan. Membuka-buka halamannya, dia menemukan sebuah kisah tentang Narcissus.
Alkemis itu sudah tahu legenda Narcissus, seorang muda yang setiap hari
berlutut di dekat sebuah danau untuk mengagumi keindahannya sendiri. Ia begitu terpesona oleh
dirinya
hingga, suatu pagi, ia jatuh kedalam danau itu dan tenggelam. Di titik tempat jatuhnya itu, tumbuh sekuntum bunga, yang dinamakan narcissus.
Tapi bukan
dengan itu pengarang mengakhiri ceritanya.
Dia
menyatakan bahwa ketika Narcissus mati, dewi-dewi hutan muncul dan mendapati danau tadi, yang semula berupa air segar, telah berubah menjadi danau airmata yang asin.
"Mengapa engkau menangis?" tanya dewi-dewi itu. "Aku menangisi Narcissus," jawab danau.
"Oh, tak heranlah
jika kau menangisi Narcissus," kata mereka, "sebab walau
kami selalu
mencari dia
di hutan, hanya kau saja yang dapat mengagumi keindahannya dari dekat."
"Tapi... indahkah Narcissus?" tanya danau.
"Siapa yang lebih mengetahuinya daripada engkau?" dewi-dewi bertanya heran. "Di dekatmulah ia tiap hari berlutut mengagumi dirinya!"
Danau terdiam beberapa saat. Akhirnya, ia berkata:
"Aku menangisi
Narcissus, tapi tak
pernah kuperhatikan bahwa
Narcissus itu indah. Aku menangis
karena, setiap ia berlutut
di dekat tepianku, aku bisa melihat, di kedalaman matanya, pantulan keindahanku sendiri."
"Kisah yang sungguh memikat," pikir sang alkemis.
BAGIAN SATU
NAMA BOCAH ITU SANTIAGO
NAMA BOCAH ITU
SANTIAGO, PETANG MENJELANG IA tiba dengan kawanan ternaknya di
sebuah gereja yang
terbengkalai. Atapnya sudah lama runtuh, dan pohon sikamor
yang sangat besar tumbuh di titik tempat sakristi pernah berdiri.
Dia memutuskan untuk bermalam di situ. Dia melihat ke arah
domba-dombanya yang masuk
lewat pagar yang
rusak, kemudian meletakkan papan di atas pagar rusak itu supaya
kawanan ternak tidak keluyuran di malam
hari. Tak ada serigala di daerah ini, tapi seekor domba pernah tersesat di malam hari, dan
si bocah
harus mencarinya sepanjang esok harinya.
Dia menyapu lantai dengan jaketnya dan merebahkan badan, menjadikan buku yang
baru
selesai dibacanya sebagai bantal.
Dia
berkata dalam hati bahwa dia harus mulai membaca
buku
yang
lebih tebal: ia lebih lama dibaca, dan lebih nyaman sebagai bantal.
Hari
masih gelap ketika dia
terbangun, dan mendongakkan kepala, dia dapat melihat bintang-bintang melalui atap yang nyaris hancur.
Aku ingin
tidur lagi
sebentar, pikirnya. Dia bermimpi yang
sama seperti minggu lalu, dan sekali lagi dia terbangun sebelum mimpinya selesai.
Dia
bangkit, mengambil tongkatnya, dan membangunkan
domba-domba
yang masih tidur. Dia perhatikan, segera setelah dia bangun, kebanyakan hewan piaraannya juga mulai
ribut. Sepertinya ada energi misterius yang menghubungkan hidupnya dengan domba-domba itu, yang telah bersamanya selama dua tahun, menggembalakan mereka menyusuri pedesaan guna mencari makanan dan air.
"Mereka sudah begitu terbiasa denganku hingga tahu jadwalku," gumamnya. Memikir kan
hal
ini sejenak, dia
sadar
boleh
jadi sebaliknya: dialah
yang menjadi terbiasa dengan jadwal mereka ..........
selengkapnya di download
0 komentar:
Posting Komentar